VIVAnews - Politisi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu menegaskan bahwa presiden Indonesia
terpilih harus mengakhiri politik pencitraan. Sebab, presiden yang
terpilih dalam Pemilu 2014 memiliki tantangan sangat berat di bidang
kedaulatan pangan, kedaulatan nasional, korupsi yang luar biasa, masalah
kesejahteraan, dan kemajemukan.
"Selama 10 tahun ini kita terlalu rapuh. Kewibawaan merosot, rakyat tidak percaya lagi pada institusi kenegaraan," ujar Masinton dalam diskusi bertajuk 'Indonesia Pasca SBY' di Jakarta, Minggu, 2 Maret 2014.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengakhiri masa jabatannya pada Oktober mendatang. Menanggapi masa depan Presiden RI, Ekonom dari Universitas Tirtayasa Banten Dahnil Anzar memiliki pandangan lain. Dia menilai, siapapun pemimpin Indonesia akan mewarisi kegagalan-kegagalan di zaman Soeharto.
Zaman Soeharto merupakan era eksploitasi, dimana Indonesia berhutang besar-besaran ke luar negeri. Di tahun 1998-an itu, masyarakat melakukan konsumsi besar-besaran.
"Siapapun yang memimpin pasca Soeharto akan melakukan normalisasi ekonomi. Saat ini semua mengatakan 'enakan zaman Soeharto toh', padahal saat itu mereka hidup dari eksploitasi dan berhutang," ungkap dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Maritime Institute Y Paonganan lebih fokus ke masalah maritim. Presiden RI, imbuhnya, harus punya visi maritim sebab tahun 2015 akan menjadi tahun masyarakat ekonomi ASEAN.
"Perdagangan yang paling menjanjikan adalah di laut. Tapi industri maritim Indonesia sekarang ini tidak begitu bagus," kata dia.
Menjawab semua itu, politisi Partai Demokrat Kastorius Sinaga mengungkapkan selama 10 tahun pemerintahan SBY, banyak capaian dan rintangan yang dilalui. Dia juga mengklaim devisa yang berhasil dikumpulkan selama 2013 cukup besar.
Sebelumnya, Bank Indonesia mengumumkan nilai cadangan devisa Indonesia per Januari 2014 mencapai US$ 100,3 miliar. Angka ini naik 1,3 miliar dibandingkan posisi Desember 2013 sebesar US$ 99,4 miliar.
"Ada kemajuan-kemajuan dimana kita lihat ini harus dilanjutkan. Tahun 2015 kita akan masuk ekonomi ASEAN. Siapapun presidennya, kita harus realistis," jelas dia.
Presiden mendatang, kata dia, harus lebih mengoptimalkan otonomi daerah, ketahanan energi, dan ekonomi.
"Selama 10 tahun ini kita terlalu rapuh. Kewibawaan merosot, rakyat tidak percaya lagi pada institusi kenegaraan," ujar Masinton dalam diskusi bertajuk 'Indonesia Pasca SBY' di Jakarta, Minggu, 2 Maret 2014.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengakhiri masa jabatannya pada Oktober mendatang. Menanggapi masa depan Presiden RI, Ekonom dari Universitas Tirtayasa Banten Dahnil Anzar memiliki pandangan lain. Dia menilai, siapapun pemimpin Indonesia akan mewarisi kegagalan-kegagalan di zaman Soeharto.
Zaman Soeharto merupakan era eksploitasi, dimana Indonesia berhutang besar-besaran ke luar negeri. Di tahun 1998-an itu, masyarakat melakukan konsumsi besar-besaran.
"Siapapun yang memimpin pasca Soeharto akan melakukan normalisasi ekonomi. Saat ini semua mengatakan 'enakan zaman Soeharto toh', padahal saat itu mereka hidup dari eksploitasi dan berhutang," ungkap dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Maritime Institute Y Paonganan lebih fokus ke masalah maritim. Presiden RI, imbuhnya, harus punya visi maritim sebab tahun 2015 akan menjadi tahun masyarakat ekonomi ASEAN.
"Perdagangan yang paling menjanjikan adalah di laut. Tapi industri maritim Indonesia sekarang ini tidak begitu bagus," kata dia.
Menjawab semua itu, politisi Partai Demokrat Kastorius Sinaga mengungkapkan selama 10 tahun pemerintahan SBY, banyak capaian dan rintangan yang dilalui. Dia juga mengklaim devisa yang berhasil dikumpulkan selama 2013 cukup besar.
Sebelumnya, Bank Indonesia mengumumkan nilai cadangan devisa Indonesia per Januari 2014 mencapai US$ 100,3 miliar. Angka ini naik 1,3 miliar dibandingkan posisi Desember 2013 sebesar US$ 99,4 miliar.
"Ada kemajuan-kemajuan dimana kita lihat ini harus dilanjutkan. Tahun 2015 kita akan masuk ekonomi ASEAN. Siapapun presidennya, kita harus realistis," jelas dia.
Presiden mendatang, kata dia, harus lebih mengoptimalkan otonomi daerah, ketahanan energi, dan ekonomi.
0 komentar:
Posting Komentar