Pekalongan sebenarnya punya sejarah tontonan yang panjang, jauh sebelum ada bioskop di banyak kota di Indonesia
, tahun 1950 an Kota Pekalongan sudah punya bioskop, namanya Rex
dan Capitol, sebuah gedung Bioskop dengan bangunan arsitektur bergaya Art Deco
berlokasi di pinggir alun-alun kota Pekalongan, yang pada era 70an
berubah nama menjadi Bioskop Rahayu dan Fajar. di Era 70 an itu
Pekalongan juga mengenal bioskop Irama di daerah gambaran.
Di era 80an kota seluas 45 Km2 ini, mempunyai 6 gedung bioskop , sebut nama ada Merdeka, Remaja, GajahMada, Rahayu, Fajar, dan Mataram
belum lagi ditambah 2 bioskop di bilangan pinggiran Pekalongan seperti
bioskop Cakra dan Semar di Kedungwuni, Bioskop Garuda di Banyuurip
plus lagi bioskop Misbar ( Gerimis Bubar, bioskop di area terbuka, di
sekitar pantai Boom).
Bioskop Remaja, yang terletak berhadapan
langsung dengan Bioskop Merdeka, bisa jadi satu-satunya bioskop di
dunia yang di bagian dalam gedungnya ada kafe yang tidak hanya
menyediakan makanan ringan, tapi juga Es Campur dan Bakso. Artinya kita
bisa duduk di sisi samping, semacam bar, menonton sambil menyantap bakso.
Bicara tontonan berkesenian di Kota Pekalongan pada era 70 – 80 an, Pekalongan mempunyai keseniannya sendiri. Pekalongan punya Gambus dan Samproh, dua kesenian bermusik yang erat dengan kultur sebagian orang Pekalongan yang santri dan dekat dengan budaya arab itu. Meski begitu , di luar Gambus dan Samproh, kesenian jenis lain pun tetap punya tempat untuk jadi tontonan di Pekalongan. Orang Pekalongan bisa nonton wayang. Orang Pekalongan bisa menerima music Rock macam Ucok AKA band tampil dan jadi tontonan, bisa menerima penampilan musik Pop KoesPlus yang pernah dua kali manggung di Pekalongan. Antusias yang luar biasa dan menjadi tontonan dan pesta rakyat Pekalongan untuk penampilan Rhoma Irama beserta Sonetanya di Stadion Kraton. Bahkan satu Group Ketoprak sebagai budaya jawa mataraman ala Jogjapun bisa tampil berbulan-bulan di Alun-alun Pekalongan yang tiap malamnya menampilkan lakon yang berganti-ganti dan tidak pernah sepi penonton.
Tapi tetaplah bioskop adalah kesetiaan penghibur yang setiap saat bisa didatangi, menariknya adalah, film-film Hollywood kurang mendapat tempat di hati orang Pekalongan, film-film India menempati Rating pertama pilihan orang Pekalongan, saat saya SMP saya sungguh tak kenal nama Elizabeth Taylor, Farah Fawcett atau Jack Nicholson, tapi nama-nama seperti Hemamalini, Amitha bachan dan Shashi Kapoor sungguh saya hapal dan ingat, itu lah bintang film kelas dunia untuk ukuran orang Pekalongan.
Rating kedua film yang diminati oleh orang Pekalongan adalah Film-film silat mandarin produksi SB, jauh sebelum era Jacky Chan atau Andy Lau, orang-orang Pekalongan sudah tergila-gila dengan silat ala Wang Yu dan tentu juga Bruce Lee sang legenda itu, (haiyaa…au…au…).
Bicara tontonan berkesenian di Kota Pekalongan pada era 70 – 80 an, Pekalongan mempunyai keseniannya sendiri. Pekalongan punya Gambus dan Samproh, dua kesenian bermusik yang erat dengan kultur sebagian orang Pekalongan yang santri dan dekat dengan budaya arab itu. Meski begitu , di luar Gambus dan Samproh, kesenian jenis lain pun tetap punya tempat untuk jadi tontonan di Pekalongan. Orang Pekalongan bisa nonton wayang. Orang Pekalongan bisa menerima music Rock macam Ucok AKA band tampil dan jadi tontonan, bisa menerima penampilan musik Pop KoesPlus yang pernah dua kali manggung di Pekalongan. Antusias yang luar biasa dan menjadi tontonan dan pesta rakyat Pekalongan untuk penampilan Rhoma Irama beserta Sonetanya di Stadion Kraton. Bahkan satu Group Ketoprak sebagai budaya jawa mataraman ala Jogjapun bisa tampil berbulan-bulan di Alun-alun Pekalongan yang tiap malamnya menampilkan lakon yang berganti-ganti dan tidak pernah sepi penonton.
Tapi tetaplah bioskop adalah kesetiaan penghibur yang setiap saat bisa didatangi, menariknya adalah, film-film Hollywood kurang mendapat tempat di hati orang Pekalongan, film-film India menempati Rating pertama pilihan orang Pekalongan, saat saya SMP saya sungguh tak kenal nama Elizabeth Taylor, Farah Fawcett atau Jack Nicholson, tapi nama-nama seperti Hemamalini, Amitha bachan dan Shashi Kapoor sungguh saya hapal dan ingat, itu lah bintang film kelas dunia untuk ukuran orang Pekalongan.
Rating kedua film yang diminati oleh orang Pekalongan adalah Film-film silat mandarin produksi SB, jauh sebelum era Jacky Chan atau Andy Lau, orang-orang Pekalongan sudah tergila-gila dengan silat ala Wang Yu dan tentu juga Bruce Lee sang legenda itu, (haiyaa…au…au…).
Bagaimana dengan Film Indonesia ?,
Oh…semua jenis film nampaknya punya segmen pasar sendiri dan laku di
bioskop Pekalongan, tapi bintang
film sekelas Rano Karno dan Yessy Gusman yang jadi idola kala itu ,
penggemarnya tetap kalah dibanding penggemar Film-film Rhoma Irama.
Penggemar Film-film Rhoma Irama nampaknya hanya bisa disaingi oleh
penggemar film – film Warkop DKI yang selalu diputar saat lebaran tiba.
Di Era 70-80 an , pilihan menonton lebih banyak karena siapa bintang film yang bermain, bukan karena resensi yang dibaca dari berbagai media seperti saat ini, yang menarik adalah bagaimana pihak pengelola bioskop mempromosikan film ini kepada khalayak. Mereka menggunakan iklan di radio lokal, dan mobil pickup keliling, dimana mobil itu bagian bak belakang dipasangi pajangan gambar film, dan disiapkan pengeras suara “TOA”, lewat pengeras suara itulah ada sesorang yang mempromosikan berkeliling. Yang menarik adalah sarana mobil keliling ini bisa diganti dengan Becak, ya…becak Pekalongan yang lebar itu.
Waktu saya kecil setiap ada mobil atau becak keliling yang mewartakan film, saya selalu berusaha mendekat, ikut berlari mengikutii dan melompat-lompat di belakang Mobil atau becak tersebut.
Jangan terlalu berharap menonton dengan tingkat kenyamanan yang tinggi, maklumlah sepanjang film diputar, asap rokok terus mengepul, dan menyesakkan nafas bercampur dengan berbagai aroma balsam yang terus digosok-gosokan penonton lainnya di jidat dan keningnya sepanjang film berlangsung. Masih ada penonton bersarung menonton dengan jongkok di kursi dari kayu sambil memakan kacang rebus dan membuang kulitnya sembarangan, dan terus berkomentar sepanjang film diputar. Mereka menonton sambil jongkok lantaran tidak nyaman atas kemungkinan gigitan kepinding (bangsat) yang hidup nyaman disela-sela kursi bioskop.
Interaksi antara penonton dan film saat film diputar pun sangat menarik, ketika sang jagoan tampil , penonton akan sibuk bertepuk tangan bahkan bersuit-suit. Ketika sang Jagoan terlibat adegan berantem dan menghajar para pecundang, penonton menjadi semakin riuh bertepuk tangan, dan terdengar teriakan, “kewok… terus kewok, syoookoooor koe”, “edannah bajingane kuwate te pok kae si”, luar biasa mereka mengekspresikan diri sepanjang film diputar tanpa peduli apakah ini mengganggu penonton yang lain atau tidak.
Bisa jadi menonton menjadi katup pembuka dari kesumpekan hidup sahari-hari warga Pekalongan, dengan membayar Rp 750 kelas satu, Limaratus rupiah kelas dua dan 350 rupiah kelas tiga , mereka berhak untuk menumpahkan segala ekspresinya.
Di era 80 an, menonton dalam suasanya keriuhan ini semakin berkurang, bahkan ketika Bioskop Gajahmada mulai dengan konsep tontonan di Balkon dan ber AC penonton sudah dilarang merokok. Dan pengumuman besar terpampang sebelum film diputar “Dilarang merokok, jika masih ada yang merokok film akan dimatikan”. Di Awal Gajahmada berdiri, petugas bioskop sibuk mengambil rokok penonton yang tetap saja merokok sepanjang film berlangsung. Ternyata, perubahan itu memang ndak mudah apalagi perubahan perilaku.
Tahukah apakah hari yang paling banyak penontonnya ?, Malam minggu ?, bukan…, malan Jumat. Ini sungguh khas Pekalongan, karena di era 70 -80 an para buruh pekerja informal ( terutama industri batik dan kain) justru libur di Hari Jumat. Kamis sore adalah hari yang paling membahagiakan bagi mereka, lantaran itulah waktunya menerima upah kerja, yang dikenal dengan sebutan pocokan. Dan malamnya mereka ramai menonton di Bioskop. Seorang rekan pernah bilang, inilah ke egaliteran ala orang Pekalongan, pada hari itu, tidak peduli apakah dia seorang buruh, tidak peduli apakah dia seorang juragan, mereka nonton bersama, di bangku yang bersebelahan tanpa ada lagi perbedaan kelas diantara keduanya. Juragan dan buruh sama-sama berhak untuk "keplok" (bertepuk tangan).
Sejak era 90 an dihantam oleh perilaku monopoli di system pendistributian film di Indonesia, era kejayaan bioskop di Pekalongan justru tidak berkembang dan pudar secara perlahan. Meski di Era itu hadir lagi satu bioskop Atrium 21 , tapi bioskop – bioskop di luar group tersebut seperti sesak nafas dan menuju sekarat , maklumlah mereka tidak bisa mendapatkan film-film yang layak jual, padahal film adalah darah keberlangsungan hidup bioskop. Runtuhnya bisnis bioskop lama dan munculnya wajah baru dengan angka 21 tidak hanya terjadi di Pekalongan tapi di seluruh Indonesia.
Menjelang jadi pusara banyak bioskop ini berusaha bertahan. Saat saya balik Pekalongan kala itu (era 90 an saya sudah bekerja di luar Pekalongan), seorang sahabat saya semasa kecil, mengajak saya menonton di Bioskop Fajar. Ada yang menarik, penontonnya cukup banyak, sebelum pertunjukan dimulai kami disuguhi orkes musik dangdut dengan pemain lokal secara live, sebagian penonton nampaknya datang sudah tidak lagi untuk menonton filmnya tapi mau melihat orkes dangdutnya.
Ternyata banyak cara dilakukan oleh pengelola bioskop untuk memperpanjang napas mensiasati menjelang kematian, seperti bioskop Fajar dengan orkes Dangdutnya.
Saat ini, tak ada lagi bioskop di Pekalongan yang bersisa semua tinggal pusara, bioskop mati, budaya menononton bioskop ala Pekalonganpun ikut mati.
Di Era 70-80 an , pilihan menonton lebih banyak karena siapa bintang film yang bermain, bukan karena resensi yang dibaca dari berbagai media seperti saat ini, yang menarik adalah bagaimana pihak pengelola bioskop mempromosikan film ini kepada khalayak. Mereka menggunakan iklan di radio lokal, dan mobil pickup keliling, dimana mobil itu bagian bak belakang dipasangi pajangan gambar film, dan disiapkan pengeras suara “TOA”, lewat pengeras suara itulah ada sesorang yang mempromosikan berkeliling. Yang menarik adalah sarana mobil keliling ini bisa diganti dengan Becak, ya…becak Pekalongan yang lebar itu.
Waktu saya kecil setiap ada mobil atau becak keliling yang mewartakan film, saya selalu berusaha mendekat, ikut berlari mengikutii dan melompat-lompat di belakang Mobil atau becak tersebut.
Jangan terlalu berharap menonton dengan tingkat kenyamanan yang tinggi, maklumlah sepanjang film diputar, asap rokok terus mengepul, dan menyesakkan nafas bercampur dengan berbagai aroma balsam yang terus digosok-gosokan penonton lainnya di jidat dan keningnya sepanjang film berlangsung. Masih ada penonton bersarung menonton dengan jongkok di kursi dari kayu sambil memakan kacang rebus dan membuang kulitnya sembarangan, dan terus berkomentar sepanjang film diputar. Mereka menonton sambil jongkok lantaran tidak nyaman atas kemungkinan gigitan kepinding (bangsat) yang hidup nyaman disela-sela kursi bioskop.
Interaksi antara penonton dan film saat film diputar pun sangat menarik, ketika sang jagoan tampil , penonton akan sibuk bertepuk tangan bahkan bersuit-suit. Ketika sang Jagoan terlibat adegan berantem dan menghajar para pecundang, penonton menjadi semakin riuh bertepuk tangan, dan terdengar teriakan, “kewok… terus kewok, syoookoooor koe”, “edannah bajingane kuwate te pok kae si”, luar biasa mereka mengekspresikan diri sepanjang film diputar tanpa peduli apakah ini mengganggu penonton yang lain atau tidak.
Bisa jadi menonton menjadi katup pembuka dari kesumpekan hidup sahari-hari warga Pekalongan, dengan membayar Rp 750 kelas satu, Limaratus rupiah kelas dua dan 350 rupiah kelas tiga , mereka berhak untuk menumpahkan segala ekspresinya.
Di era 80 an, menonton dalam suasanya keriuhan ini semakin berkurang, bahkan ketika Bioskop Gajahmada mulai dengan konsep tontonan di Balkon dan ber AC penonton sudah dilarang merokok. Dan pengumuman besar terpampang sebelum film diputar “Dilarang merokok, jika masih ada yang merokok film akan dimatikan”. Di Awal Gajahmada berdiri, petugas bioskop sibuk mengambil rokok penonton yang tetap saja merokok sepanjang film berlangsung. Ternyata, perubahan itu memang ndak mudah apalagi perubahan perilaku.
Tahukah apakah hari yang paling banyak penontonnya ?, Malam minggu ?, bukan…, malan Jumat. Ini sungguh khas Pekalongan, karena di era 70 -80 an para buruh pekerja informal ( terutama industri batik dan kain) justru libur di Hari Jumat. Kamis sore adalah hari yang paling membahagiakan bagi mereka, lantaran itulah waktunya menerima upah kerja, yang dikenal dengan sebutan pocokan. Dan malamnya mereka ramai menonton di Bioskop. Seorang rekan pernah bilang, inilah ke egaliteran ala orang Pekalongan, pada hari itu, tidak peduli apakah dia seorang buruh, tidak peduli apakah dia seorang juragan, mereka nonton bersama, di bangku yang bersebelahan tanpa ada lagi perbedaan kelas diantara keduanya. Juragan dan buruh sama-sama berhak untuk "keplok" (bertepuk tangan).
Sejak era 90 an dihantam oleh perilaku monopoli di system pendistributian film di Indonesia, era kejayaan bioskop di Pekalongan justru tidak berkembang dan pudar secara perlahan. Meski di Era itu hadir lagi satu bioskop Atrium 21 , tapi bioskop – bioskop di luar group tersebut seperti sesak nafas dan menuju sekarat , maklumlah mereka tidak bisa mendapatkan film-film yang layak jual, padahal film adalah darah keberlangsungan hidup bioskop. Runtuhnya bisnis bioskop lama dan munculnya wajah baru dengan angka 21 tidak hanya terjadi di Pekalongan tapi di seluruh Indonesia.
Menjelang jadi pusara banyak bioskop ini berusaha bertahan. Saat saya balik Pekalongan kala itu (era 90 an saya sudah bekerja di luar Pekalongan), seorang sahabat saya semasa kecil, mengajak saya menonton di Bioskop Fajar. Ada yang menarik, penontonnya cukup banyak, sebelum pertunjukan dimulai kami disuguhi orkes musik dangdut dengan pemain lokal secara live, sebagian penonton nampaknya datang sudah tidak lagi untuk menonton filmnya tapi mau melihat orkes dangdutnya.
Ternyata banyak cara dilakukan oleh pengelola bioskop untuk memperpanjang napas mensiasati menjelang kematian, seperti bioskop Fajar dengan orkes Dangdutnya.
Saat ini, tak ada lagi bioskop di Pekalongan yang bersisa semua tinggal pusara, bioskop mati, budaya menononton bioskop ala Pekalonganpun ikut mati.
sumber:http://www.askarlo.org
Terimakasih mas, tulisanya sdh merefress saya, seolah diajak kelorong waktu saja.
BalasHapusYg saya blm tahu hingga saat ini adalah bioskop irama.
Oh ya, masa kecil saya di Pekalongan th 70/80an, dan skrg tinggal di perantauan.